Minggu, 12 Mei 2013

Uang tip, Uang rokok, Uang pulsa, Uang lelah, Uang Bensin, Uang…sogok/suap, haram !!!


Berikut saya sampaikan beberapa hadits yang mendasari hukum :
  1. Haramnya uang “setrika” alias pelicin alias sogok atau suap.
  2. Haramnya uang “lelah” alias uang tip alias uang bensin atau uang balas budi dst.
Sengaja saya bagi dua macam uang haram ini, yang sebenarnya keduanya memiliki kesamaan hukum yaitu “Dosa Besar”, dengan harapan lebih memahamkan para pembaca.
- Macam pertama lebih menitik beratkan kepada “uang yang berkeliaran”disekitar para pejabat, baik negri maupun swasta, yang pasti “pejabat” yang ada “pengaruh” dan terkait “kepentingan” orang banyak.
- Dan macam kedua lebih mendekati kepada makna “hadiah” atau tanda ucapan“terima kasih” atas budi baik atau “penghargaan” atas jerih payah dan jasa.
Hadits untuk macam pertama:
  1. Hadits Abdullah Bin Amr رضي الله عنه :
“لعنة الله على الراشي والمرتشي”.
“Laknat Allah atas penyogok dan yang disogok”. ( Ahmad, Abu Dawud, & Tirmidzi; dishahihkan Albani dalam Al irwa’: 2621 )
  1. Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه :
“لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ”
“Allah melaknat penyogok dan yang disogok”. ( Ahmad, Tirmidzi, hakim, dan Ibnu Hibban, dishahihkan albani dalam Al Irwa’: 2621 )
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad حفظه الله :
RISYWAH ialah: “Sesuatu yang diberikan kepada seorang pegawai, atau hakim, atau pimpinan supaya sampai kepada satu tujuan, terlepas dari benar atau salah tujuan tersebut, inilah yang disebut Risywah, sebab ia menyampaikan manusia kepada yang dikehendaki,…”.
Hadits untuk macam kedua:
  1. Hadits Abu Humaid As Sa’idi رضي الله عنه :
اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ  بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mempekerjakan seorang yang berasal dari Azd yang di panggil Ibnul Utbiyyah ( atau Ibnu lutbiyyah ) untuk menghimpun zakat, setelah datang (dari tugas) ia berkata: Ini buat kalian dan ini “hadiah untuhku”, Rasul صلى الله عليه وسلم  pun bersabda: “mengapa dia tidak duduk tinggal di rumah bapak atau ibunya lalu memperhatikan adakah dia akan diberi hadiah ataukah tidak, demi Dzat yang jiwaku di Tangan Nya, tidaklah salah seorang kamu mengambil sedikit dari “hadiah itu” melainkan ia akan datang di hari kiamat sambil memikul “hadiah” itu dilehernya, berupa onta yang bersuara, atau kerbau yang melenguh, atau kambing yang mengembik, lalu beliau mengangkat tangan hingga kami melihat putih ketiak beliau seraya berucap: Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan, bukankah aku telah menyampaikan dan diulangnya tiga kali.”
  1. Hadits  Abu Humaid As Sa’idi رضي الله عنه:
(( هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ ))
“Hadiah-Hadiah untuk para pegawai adalah khianat” ( Ahmad, dishahihkan Albani dengan Syawahidnya )
An Nawawi رحمه الله berkata:
“Di dalam hadits ini ada penjelasan bahwa hadiah untuk pegawai adalah haram dan merupakan bentuk pengkhianatan, khianat atas kepemimpinan dan amanahnya. Karenanya dalam hadits itu disebutkan hukumannya, dan hadiah itu akan dipikulnya pada hari kiamat, seperti halnya seorang penghianat, dan dalam hadits tersebut Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskan sebab pengharaman hadiah kepada pegawai yaitu disebabkan oleh “kedudukan”, berbeda dengan hadiah kepada selain pegawai, itu disunnahkan, dan telah dijelaskan hukum “hadiah”  yang terlanjur diterima oleh pegawai atau sejenisnya, yaitu dikembalikan kepada pemberi hadiah, dan jika tidak memungkinkan maka diserahkan kepada baitul mal.
Berkata Al Hafidz :
“Adapun hadits Abu Humaid, Nabi صلى الله عليه وسلم mencela Abu Lutbiyah menerima “hadiah” dikarenakan ia seorang “pegawai”, dan kalimat “mengapa dia tidak duduk tinggal dirumah ibunya” memberi faedah jika pada saat demikian dia diberi hadiah maka tidak mengapa menerima hadiah tersebut, sebab tidak ada kecurigaan padanya…
Berkata Ibnul Munir: Kalimat : “mengapa dia tidak duduk tinggal di rumah bapak atau ibunya” memberi pengertian bolehnya “pegawai” menerima hadiah dari seseorang yang telah biasa memberi hadiah kepadanya sebelum dia menjadi “pejabat”. Al Hafidz menimpali ucapan Ibnul Munir: hal itu jika “hadiah” yang diberikan tidak melebihi kebiasaan.
Berkata Ibnu Bathal: “Masuk dalam “hadiah Pejabat” adalah “hadiah” dari orang yang berhutang untuk yang berpiutang.”
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad حفظه الله :
“Pegawai yang dimaksud ialah; “Para Pejabat (negri/swasta) yang manusia butuh kepada bantuannya, maka “hadiah” yang diberikan kepada mereka “haram dan tidak boleh diterima, sebab termasuk “ghulul” (khianat), dan juga “hadiah” itu tidak boleh diberikan kepada mereka, sebab pemberian hadiah akan menyebabkan ssang “penerima” lebih cenderung kepada sang “pemberi’, akibatnya terkadang “penerima” akan memberikan kepada “pemberi” sesuatu yang bukan haknya, atau “pemberi” lebih diutamakan dari yang lain, atau “penerima” menggampangkan hak orang yang tidak menberi hadiah, telah datang hadits yang menyatakan bahwa: “Hadiah pejabat itu adalah Ghulul”, artinya: “termasuk perbuatan khianah dan tidak amanah”.
“Hadiah untuk Pejabat” atau yang semakna dengannya tidak beda dengan “Risywah” atau uang pelicin alias “uang SOGOK”.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak soal-jawab dengan Para Ulama yang tergabung dalam “Lajnah Daimah”.
Contoh Pertama:
السؤال الخامس من الفتوى رقم .9206
س5 : إذا كنت أعمل في محل الصيدلية أو مكان ما ، وأؤجر على عمل من صاحب العمل ، ولكن هناك بعض المشترين يعطوني بعض الأموال على سبيل البقشيش ، فما حكم تلك الأموال علما بأنني لا أطالبهم بها ؟
ج5 : لا يجوز لك أخذ ذلك المال ؛ لأنه نوع من الرشوة ، وهي محرمة .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو  نائب الرئيس  الرئيس
عبد الله بن غديان  عبد الرزاق عفيفي  عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Soal: “Jika saya bekerja di sebuah apotik atau disutu tempat , dan saya mendapat upah atau gaji dari pemilik usaha, tapi sebagian pembeli memberikan “uang tip” kepada saya, apa hukumnya “uang tip” tersebut padahal saya tidak pernah meminta?
Jawab : “Anda tidak boleh mengambil uang tersebut, sebab itu termasuk “Risywah” uang pelicin, dan uang pelicin itu haram.”
Contoh kedua:
الفتوى رقم .7245
س : ما حكم الإسلام إذا قام المرشح في الانتخابات النيابية بإعطاء الناخب مالا مقابل أن يدلي له بصوته في الانتخابات ، وما عقوبة هذا ؟ أفيدونا جزاكم الله خيرا وجعلكم ذخرا للإسلام ؟
ج : إعطاء الناخب مالا من المرشح من أجل أن يصوت باسمه نوع من الرشوة ، وهي محرمة .
وأما النظر في العقوبة فمرجعه المحاكم الشرعية .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو  عضو  نائب الرئيس  الرئيس
عبد الله بن قعود  عبد الله بن غديان  عبد الرزاق عفيفي  عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Soal: “Apa hukum islam jika seorang calon anggota dewan “CALEG” membagikan harta kepada calon pemilih supaya dalam pemilu nanti ia memberikan suaranya untuk sang “CALEG” tersebut ? dan apa hukuman yang pantas bagi sang caleg itu ?
Jawab: “Pemberian harta kepada calon pemilih dari seorang caleg supaya memberikan suaranya termasuk “RISYWAH” (Uang pelicin/suap), dan uang suap itu haram. Adapun hukuman baginya dikembalikan kepada hakim Syariah.”
Contoh berikutnya:
الفتوى رقم ( 1468 )
س : رجل أتى بأمه لتقبل الحجر الأسود وهما حاجان ، وتعذر ذلك لكثرة الناس ، فأعطى الجندي الذي عند الحجر الأسود عشرة ريالات ، فأبعد الجندي الناس وخلا الحجر لهذا الرجل ولأمه ، فقبلاه ، فهل هذا العمل جائز ، وهل لهذا الرجل حج ؟
ج : إذا كان الأمر كما ذكر ، فهذا المبلغ الذي دفعه الرجل للجندي رشوة لا يجوز له أن يدفعه ، وتقبيل الحجر الأسود سنة ، ليس من أركان الحج ، ولا من واجباته ، فمن استطاع أن يستلمه ويقبله بدون أن يؤذي أحدا استحب له ذلك ، فإن لم يتمكن من استلامه وتقبيله استلمه بعصا وقبلها ، وإن لم يتمكن من استلامه بيده أو بعصا أشار إليه عند محاذاته وكبر ، هذه هي السنة ، وأما بذل الرشوة في ذلك فلا يجوز للطائف ولا للجندي ، وعليهما جميعا التوبة إلى الله من ذلك .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو  نائب الرئيس  الرئيس
عبد الله بن غديان  عبد الرزاق عفيفي  عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Soal: “Seorang anak bersama ibunya datang hendak mencium hajar aswad, keduanya sedang menunaikan ibadah haji, mereka berdua pun tidak dapat mencium hajar aswad karena penuh sesaknya manusia, maka si anak memberi uang 10 real kepada petugas keamanan hajar aswad, akhirnya petugas tersebut meminggirkan manusia supaya hajar aswad untuk anak dan ibu tadi, lalu keduanya mencium hajar aswad, apakah perbuatan ini diperbolehkan, dan apakah si anak tadi punya haji?
Jawab: “Jika perkaranya seperti yang disebutkan, maka sejumlah uang yang diberikan kepada petugas tadi adalah “Risywah” si anak tadi tidak boleh memberikan uang itu, mencium hajar aswad itu sunnah, bukan termasuk rukun haji, dan bukan termasuk pula kewajiban haji, maka bagi yang mampu mengusap dan menciumnya tanpa mengganggu orang lain disunnahkan, jika hal itu tidak mungkin makamengusapnya dengan tongkat lalu mencium tongkat tersebut, jika mengusap dengan tangan dan tongkat tidak mungkin maka memberi isyarat saat posisi hajar aswad lurus dengannya dan bertakbir, ini yang disunnahkan, adapun memberi uang pelicin untuk “dapat mencium hajar aswad” maka itu tidak diperkenankan baik bagi yang berthawaf  maupun bagi petugas keamanan, dan wajib atas keduanya bertaubat kepada Allah dari kesalahan itu.”
Lalu bagaimana bagi manusia yang hidup dalam naungan hukum “setrika” ini, mau ambil hak sendiri harus bawa setrika, untuk yang satu ini Para ulama kita membolehkan kita yang mau ambil hak diri untuk bawa “setrika” alias pelicin atau sogokan jika satu-satunya jalan harus bawa sogok untuk menyogok yang suka di sogok.
Syaikh Utsaimin رحمه الله menjelaskan: “Tetapi jika tidak ada jalan untuk memenuhi hak orang yang berhak kecuali dengan menyerahkan beberapa dirham, apakah juga termasuk risywah? Ya, itu termasuk risywah, tetapi yang berdosa adalah “penerima” bukan “pemberi”, sebab “pemberi” memberi supaya haknya dapat diambil, jika tidak haknya akan lenyap, sehingga dosa ditanggung “Al Murtasyi” (Penerima suap), sebagaimana hal itu telah ditegaskan oleh para ulama kita رحمهم الله , dan mereka menjelaskan bahwa orang yang mengeluarkan harta untuk mendapatkan haknya maka tidak ada dosa atasnya.” (Syarhul mumti’: 15/306).

Sabtu, 11 Mei 2013

KISAH CERDIKNYA SEORANG PEMUDA YANG IKHLAS

Yang menyaksikan kisah ini berkata :
Suatu hari aku di Mekah di salah satu supermarket. Setelah aku selesai memilih barang-barang yang hendak aku beli dan aku masukan ke kereta barang maka akupun menuju tempat salah satu kasir untuk ngantri membayar. Di depanku ada seorang wanita bersama dua putri kecilnya, dan sebelum mereka ada seorang pemuda yang persis di hadapanku di posisi antrian. Aku perhatikan ternyata setelah menghitung lalu sang kashir mengatakan, "Totalnya 145 real". Lalu sang wanitapun memasukan tangannya ke tas kecilnya untuk mencari-cari uang, ternyata ia hanya mendapatkan pecahan 50 realan dan beberapa lembar pecahan sepuluhan realan. Aku juga melihat kedua putrinya juga sibuk mengumpulkan uang pecahan realan miliki mereka berdua hingga akhirnya terkumpulah uang mereka 125 real. Maka nampaklah ibu mereka berdua kebingungan dan mulailah sang ibu mengembalikan sebagian barang-barang yang telah dibelinya. Salah seorang putrinya berkata, "Bu.., yang ini kami tidak jadi beli, tidak penting bu..".
Tiba-tiba aku melihat sang pemuda yang berdiri persis di belakang mereka melemparkan selembar uang 50 realan di samping sang wanita dengan sembunyi-sembunyi dan cepat. Lalu sang pemuda tersebut segera berbicara kepada sang wanita dengan penuh kesopanan dan ketenangan seraya berkata, "Ukhti, perhatikan, mungkin uang 50 realan ini jatuh dari tas kecilmu…".
Lalu sang pemuda menunduk dan mengambil uang 50 realan tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita. Sang wanitapun berterima kasih kepadanya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.
Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia kabur melarikan diri. Akupun segera menyusulnya lalu aku berkata, "Akhi…sebentar dulu…!, aku ingin berbicara denganmu sebentar". Lalu aku bertanya kepadanya, "Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat dan cemerlang seperti tadi?"
Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah aku kabarkan kepadanya bahwa aku telah menyaksikan semuanya, dan aku menenangkannya dan menjelaskan bahwasanya aku bukanlah penduduk Mekah, aku hanya menunaikan ibadah umroh dan aku akan segera kembali ke negeriku, dan kemungkinan besar aku tidak akan melihatnya lagi. Lalu iapun berkata, "Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama dua menit tatkala sang wanita dan kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir…, akan tetapi Robmu Allah subhaanahu wa ta'aala mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu di hadapan kedua putrinya… Demi Allah, saya mohon agar engkau tidak bertanya-tanya lagi dan biarkan aku pergi".
Aku berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka :
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (٦) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (٧)
"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah" (QS Al-Lail 5-7)
Lalu sang pemuda itupun menangis, lalu meminta izin kepadaku dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya.

 http://www.firanda.com/index.php/artikel/status-facebook/436-kisah-cerdiknya-seorang-pemuda-yang-ikhlas

Kamis, 09 Mei 2013

Halalkah Upah Kerja Dakwah?



Ada perbedaan antara honor yang bersal dari baitul maal atau lembaga sosial dan upah, di antaranya : honor bersifat derma (sumbangan) yang tidak ditetapkan jumlahnya  ketergantungan kemurahan hati para penderma atu kondisi keuangan lembaga dan mungkin jga tidak member apa-apa , sedangkan upah merupakan transaksi yang wajib di penuhi oleh kedua belah pihak yang jumlahnya telah ditetapkan dari awal sebelum jasa dipakai tergantung tawar menawar antara pihak pembeli dan pengguna jasa.
Adapun upah yang disepakati dari awal antara pendakwah dan pengguna jasanya, seperti: seorang guru mengajar Alquran atau mengajar ilmu-ilmu keislaman dengan mensyaratkan honor lima puluh ribu rupiah setiap kedatanagnnya, atau seorang pendakwah mensyaratkan dari awal honor lima ratus ribu rupiah untuk sekali ceramah agama yang bila honor tersebut tidak mampu dipenuhi  pihak pengguna jasa, pendakwah menolak untuk memberikan ceramah , hukum kehalalan upah ini diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat pertama: Para ulama dalam mazhab Hanafi dan Hambali mengharamkan upah yang di tentukan dari semula sebagai imbalan jasa dakwah yang disampaikan.
Para ulama ini berpegang kepada beberapa dalil:
1. ayat alquran dalam surat ( Al an’aam: 90), (Huud: 29),( Huud: 51), (As Syu’ara: 164), (As Syu’ara: 180), ( Yasin: 20-21) bahwa para Nabi tidak minta upah kepada umatnya atas dakwah yang mereka sampaikan.
Tanggapan: Dalil ini tidak kuat, karna dakwah para nabi tersebut ditunjukan kepada orang non muslim yang memeng tidak akan mau memberikan upah. Dan juga dalam ayat – ayat tersebut  tidak ada larangan andai orang – orang yang menerima dakwah tersebut memberikan upah.
2. Firman Allah ta’ala yang melarang menjual ayat –ayatnya dengan harga dunia dan melarang menyembunyikan petunjuk, sedangkan menolak memberikan dakwah tampa imbalan yang disepakati sebelumnya termasuk menjual ayat dan menyembunyikan petunjuk. Di antara ayat-ayat tersebut:
Firman Allah ta,ala dalam surat (Al Baqoroh: 41), (Al Baqoroh: 159) yang artinya:
(Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga yang rendah) Al Baqoroh: 41
(sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan- ketrangan (yang jelas) dan petunjuk , setelah kami menerangkannya kepada manusia Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan di laknati (pula) oleh semua (makhluk )yang dapat melaknati” ) Al Baqoroh: 159
Tanggapan: Dalil ini juga tidak kuat , karna maksud ayat di atas bila seorang telah menjadi fardhu’ain baginya untuk menyempaikan dakwah, seperti: dia berada di lingkungan yang sama sekali tidak ada orang yang mampu menyampaikan dakwah dan menagjar Al Quran kecuali dirinya, dalam kondisi ini memang di haramkan dia menerima upah, karna dia melakukan hal yang wajib sebagai seseorang yang melakukan sholat wajib, tidak mungkin dia berhak menerima gaji atas amalan sholatnya.
3. Hadist Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang melarang makan upah mengajar Alquran, Nabi shalallahhu alaihi wasallam bersabda yang artinya :
Bacalah Al qur’an, dan jangan terlalu berlebihan,jangan terlalu lalai, jangn makan upah mengajar Al qur’an, dan memeperbanyak harata melalaui mengajar Al qur’an “ (HR. Ahmad, dishahihkan oleh ibnu Hajar).
Pendapat kedua : Para ulama dalam mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan menarik upah kerja dakwah. Mereka berpegang kepada beberapa dalil:
-          Diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa sekelompok sahabat Nabi melewati sebuah perkampungan, lalu orang kampung tersebut meminta mereka untuk mengobati kepala suku mereka yang terkena sengatan hewan berbisa, para sahabat mau mengobati dengan syarat orang kampung itu memberkan imbalan beberapa ekor kambing, setelah terjadi kesepakatan, salah seorang sahabat mengobatinya dengan membaca surat Al Fatihah, seketika itu juga si sakit langsung sembuh dan mereka memenuhi akad serta memberikan beberapa ekor kambing yang di sepakati, sebagian sahabat menolaknya, karna mengambil upah dari bacaan Al qur’an
Sesampainya di madinah mereka mengadukan hal tersebut kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam  bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima adalah imbalan Al qur’an”  (HR. Bukhori)
-          Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu seorang wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi Nabi shalallahu alaihi wasallam, akan tetapi Nabi shalallahu alaihi wasallam tidak berniat menikahinya
Maka salah seorang sahabat meminta kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam untuk menikahi wanita tersebut dengan dirinya.
Lalu Nabi shalallahu alaihi wasallam memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari maharnya, namun dia tidak memiliki apa – apa.
Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam menanyakan apakah dia hafal beberapa surat Al qur’an. Dia menjawab “hafal beberapa surat”  
Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda yang artinyaa:
“kami telah menikahkanmu dengan perempuan tersebut, dengan mahar mengajarkan wanita itu beberapa surat Al qur’an yang engkau hafal” (HR. Bukhori dan Muslim).

Dari hadist ini di pahami bahwa upah mengajar Al qur’an halal sehingga bisa dijadikan mahar layaknya emas, perak dan lain-lain


Dari dua pendapat di atas dengan argumen masing – masing, sebagia ulama mencari jalan tengah, yaitu tidak di benarkan mengambil upah berdakwah, kecuali untuk menutupi biaya kebutuhan pokok pendakwah dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yang mau mengajar, mendakwah dan menyiarkan agama Allah karna para juru dakwah tersebut di disibukan oleh aktifitas keseharian mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karna tidak ada lagi orang mengajarinya
Dan bila dibolehkan tanpa syarat yang berarti  dibolehkan mencari kekayaan sebanyak – banyaknya dengan profesi sebagai pendakwah, seperti fenomen sekarang dimana seorang ustadz ternama tidak mau memberikan pengarahan agama bila imbalannya kurang dari sekian juta, hal ini jelas bertentangan dengan hadist yang melarang memperbanyak harta dengan mengajarkan Al qur’ar
Dengan demikian pendapat ini cukup kuat, yakni boleh mengambil upah kerja dakwah untuk menutupi kebutuhan pokok, maka bila seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri sendiri dan keluarga, seyogyanyalah iya tidak mengambil honor yang di berikan jamaah yang di kumpulkan oleh mereka rupiah demi rupiah agar mendapat siraman rohani dari seorang ustadz, sedangkan ustadz yang menerima honor tersebut bergelimang harta.


Diambil dari Kitab HARTA HARAM MUAMALAT KONTEMPORER”
Karya : DR. ERWANDI TARMIZI Hafidzahullah