Berikut saya sampaikan beberapa hadits yang mendasari hukum :
- Haramnya uang “setrika” alias pelicin alias sogok atau suap.
- Haramnya uang “lelah” alias uang tip alias uang bensin atau uang balas budi dst.
Sengaja saya bagi dua macam uang haram ini, yang sebenarnya keduanya memiliki kesamaan hukum yaitu “Dosa Besar”, dengan harapan lebih memahamkan para pembaca.
- Macam pertama lebih menitik beratkan kepada “uang yang berkeliaran”disekitar para pejabat, baik negri maupun swasta, yang pasti “pejabat” yang ada “pengaruh” dan terkait “kepentingan” orang banyak.
- Dan macam kedua lebih mendekati kepada makna “hadiah” atau tanda ucapan“terima kasih” atas budi baik atau “penghargaan” atas jerih payah dan jasa.
Hadits untuk macam pertama:
- Hadits Abdullah Bin Amr رضي الله عنه :
“لعنة الله على الراشي والمرتشي”.
“Laknat Allah atas penyogok dan yang disogok”. ( Ahmad, Abu Dawud, & Tirmidzi; dishahihkan Albani dalam Al irwa’: 2621 )
- Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه :
“لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ”
“Allah melaknat penyogok dan yang disogok”. ( Ahmad, Tirmidzi, hakim, dan Ibnu Hibban, dishahihkan albani dalam Al Irwa’: 2621 )
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad حفظه الله :
RISYWAH ialah: “Sesuatu yang diberikan kepada seorang pegawai, atau hakim, atau pimpinan supaya sampai kepada satu tujuan, terlepas dari benar atau salah tujuan tersebut, inilah yang disebut Risywah, sebab ia menyampaikan manusia kepada yang dikehendaki,…”.
Hadits untuk macam kedua:
- Hadits Abu Humaid As Sa’idi رضي الله عنه :
اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mempekerjakan seorang yang berasal dari Azd yang di panggil Ibnul Utbiyyah ( atau Ibnu lutbiyyah ) untuk menghimpun zakat, setelah datang (dari tugas) ia berkata: Ini buat kalian dan ini “hadiah untuhku”, Rasul صلى الله عليه وسلم pun bersabda: “mengapa dia tidak duduk tinggal di rumah bapak atau ibunya lalu memperhatikan adakah dia akan diberi hadiah ataukah tidak, demi Dzat yang jiwaku di Tangan Nya, tidaklah salah seorang kamu mengambil sedikit dari “hadiah itu” melainkan ia akan datang di hari kiamat sambil memikul “hadiah” itu dilehernya, berupa onta yang bersuara, atau kerbau yang melenguh, atau kambing yang mengembik, lalu beliau mengangkat tangan hingga kami melihat putih ketiak beliau seraya berucap: Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan, bukankah aku telah menyampaikan dan diulangnya tiga kali.”
- Hadits Abu Humaid As Sa’idi رضي الله عنه:
(( هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ ))
“Hadiah-Hadiah untuk para pegawai adalah khianat” ( Ahmad, dishahihkan Albani dengan Syawahidnya )
An Nawawi رحمه الله berkata:
“Di dalam hadits ini ada penjelasan bahwa hadiah untuk pegawai adalah haram dan merupakan bentuk pengkhianatan, khianat atas kepemimpinan dan amanahnya. Karenanya dalam hadits itu disebutkan hukumannya, dan hadiah itu akan dipikulnya pada hari kiamat, seperti halnya seorang penghianat, dan dalam hadits tersebut Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskan sebab pengharaman hadiah kepada pegawai yaitu disebabkan oleh “kedudukan”, berbeda dengan hadiah kepada selain pegawai, itu disunnahkan, dan telah dijelaskan hukum “hadiah” yang terlanjur diterima oleh pegawai atau sejenisnya, yaitu dikembalikan kepada pemberi hadiah, dan jika tidak memungkinkan maka diserahkan kepada baitul mal.
Berkata Al Hafidz :
“Adapun hadits Abu Humaid, Nabi صلى الله عليه وسلم mencela Abu Lutbiyah menerima “hadiah” dikarenakan ia seorang “pegawai”, dan kalimat “mengapa dia tidak duduk tinggal dirumah ibunya” memberi faedah jika pada saat demikian dia diberi hadiah maka tidak mengapa menerima hadiah tersebut, sebab tidak ada kecurigaan padanya…
Berkata Ibnul Munir: Kalimat : “mengapa dia tidak duduk tinggal di rumah bapak atau ibunya” memberi pengertian bolehnya “pegawai” menerima hadiah dari seseorang yang telah biasa memberi hadiah kepadanya sebelum dia menjadi “pejabat”. Al Hafidz menimpali ucapan Ibnul Munir: hal itu jika “hadiah” yang diberikan tidak melebihi kebiasaan.
Berkata Ibnu Bathal: “Masuk dalam “hadiah Pejabat” adalah “hadiah” dari orang yang berhutang untuk yang berpiutang.”
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad حفظه الله :
“Pegawai yang dimaksud ialah; “Para Pejabat (negri/swasta) yang manusia butuh kepada bantuannya, maka “hadiah” yang diberikan kepada mereka “haram dan tidak boleh diterima, sebab termasuk “ghulul” (khianat), dan juga “hadiah” itu tidak boleh diberikan kepada mereka, sebab pemberian hadiah akan menyebabkan ssang “penerima” lebih cenderung kepada sang “pemberi’, akibatnya terkadang “penerima” akan memberikan kepada “pemberi” sesuatu yang bukan haknya, atau “pemberi” lebih diutamakan dari yang lain, atau “penerima” menggampangkan hak orang yang tidak menberi hadiah, telah datang hadits yang menyatakan bahwa: “Hadiah pejabat itu adalah Ghulul”, artinya: “termasuk perbuatan khianah dan tidak amanah”.
“Hadiah untuk Pejabat” atau yang semakna dengannya tidak beda dengan “Risywah” atau uang pelicin alias “uang SOGOK”.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak soal-jawab dengan Para Ulama yang tergabung dalam “Lajnah Daimah”.
Contoh Pertama:
السؤال الخامس من الفتوى رقم .9206
س5 : إذا كنت أعمل في محل الصيدلية أو مكان ما ، وأؤجر على عمل من صاحب العمل ، ولكن هناك بعض المشترين يعطوني بعض الأموال على سبيل البقشيش ، فما حكم تلك الأموال علما بأنني لا أطالبهم بها ؟
ج5 : لا يجوز لك أخذ ذلك المال ؛ لأنه نوع من الرشوة ، وهي محرمة .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … نائب الرئيس … الرئيس
عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Soal: “Jika saya bekerja di sebuah apotik atau disutu tempat , dan saya mendapat upah atau gaji dari pemilik usaha, tapi sebagian pembeli memberikan “uang tip” kepada saya, apa hukumnya “uang tip” tersebut padahal saya tidak pernah meminta?
Jawab : “Anda tidak boleh mengambil uang tersebut, sebab itu termasuk “Risywah” uang pelicin, dan uang pelicin itu haram.”
Contoh kedua:
الفتوى رقم .7245
س : ما حكم الإسلام إذا قام المرشح في الانتخابات النيابية بإعطاء الناخب مالا مقابل أن يدلي له بصوته في الانتخابات ، وما عقوبة هذا ؟ أفيدونا جزاكم الله خيرا وجعلكم ذخرا للإسلام ؟
ج : إعطاء الناخب مالا من المرشح من أجل أن يصوت باسمه نوع من الرشوة ، وهي محرمة .
وأما النظر في العقوبة فمرجعه المحاكم الشرعية .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Soal: “Apa hukum islam jika seorang calon anggota dewan “CALEG” membagikan harta kepada calon pemilih supaya dalam pemilu nanti ia memberikan suaranya untuk sang “CALEG” tersebut ? dan apa hukuman yang pantas bagi sang caleg itu ?
Jawab: “Pemberian harta kepada calon pemilih dari seorang caleg supaya memberikan suaranya termasuk “RISYWAH” (Uang pelicin/suap), dan uang suap itu haram. Adapun hukuman baginya dikembalikan kepada hakim Syariah.”
Contoh berikutnya:
الفتوى رقم ( 1468 )
س : رجل أتى بأمه لتقبل الحجر الأسود وهما حاجان ، وتعذر ذلك لكثرة الناس ، فأعطى الجندي الذي عند الحجر الأسود عشرة ريالات ، فأبعد الجندي الناس وخلا الحجر لهذا الرجل ولأمه ، فقبلاه ، فهل هذا العمل جائز ، وهل لهذا الرجل حج ؟
ج : إذا كان الأمر كما ذكر ، فهذا المبلغ الذي دفعه الرجل للجندي رشوة لا يجوز له أن يدفعه ، وتقبيل الحجر الأسود سنة ، ليس من أركان الحج ، ولا من واجباته ، فمن استطاع أن يستلمه ويقبله بدون أن يؤذي أحدا استحب له ذلك ، فإن لم يتمكن من استلامه وتقبيله استلمه بعصا وقبلها ، وإن لم يتمكن من استلامه بيده أو بعصا أشار إليه عند محاذاته وكبر ، هذه هي السنة ، وأما بذل الرشوة في ذلك فلا يجوز للطائف ولا للجندي ، وعليهما جميعا التوبة إلى الله من ذلك .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … نائب الرئيس … الرئيس
عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Soal: “Seorang anak bersama ibunya datang hendak mencium hajar aswad, keduanya sedang menunaikan ibadah haji, mereka berdua pun tidak dapat mencium hajar aswad karena penuh sesaknya manusia, maka si anak memberi uang 10 real kepada petugas keamanan hajar aswad, akhirnya petugas tersebut meminggirkan manusia supaya hajar aswad untuk anak dan ibu tadi, lalu keduanya mencium hajar aswad, apakah perbuatan ini diperbolehkan, dan apakah si anak tadi punya haji?
Jawab: “Jika perkaranya seperti yang disebutkan, maka sejumlah uang yang diberikan kepada petugas tadi adalah “Risywah” si anak tadi tidak boleh memberikan uang itu, mencium hajar aswad itu sunnah, bukan termasuk rukun haji, dan bukan termasuk pula kewajiban haji, maka bagi yang mampu mengusap dan menciumnya tanpa mengganggu orang lain disunnahkan, jika hal itu tidak mungkin makamengusapnya dengan tongkat lalu mencium tongkat tersebut, jika mengusap dengan tangan dan tongkat tidak mungkin maka memberi isyarat saat posisi hajar aswad lurus dengannya dan bertakbir, ini yang disunnahkan, adapun memberi uang pelicin untuk “dapat mencium hajar aswad” maka itu tidak diperkenankan baik bagi yang berthawaf maupun bagi petugas keamanan, dan wajib atas keduanya bertaubat kepada Allah dari kesalahan itu.”
Lalu bagaimana bagi manusia yang hidup dalam naungan hukum “setrika” ini, mau ambil hak sendiri harus bawa setrika, untuk yang satu ini Para ulama kita membolehkan kita yang mau ambil hak diri untuk bawa “setrika” alias pelicin atau sogokan jika satu-satunya jalan harus bawa sogok untuk menyogok yang suka di sogok.
Syaikh Utsaimin رحمه الله menjelaskan: “Tetapi jika tidak ada jalan untuk memenuhi hak orang yang berhak kecuali dengan menyerahkan beberapa dirham, apakah juga termasuk risywah? Ya, itu termasuk risywah, tetapi yang berdosa adalah “penerima” bukan “pemberi”, sebab “pemberi” memberi supaya haknya dapat diambil, jika tidak haknya akan lenyap, sehingga dosa ditanggung “Al Murtasyi” (Penerima suap), sebagaimana hal itu telah ditegaskan oleh para ulama kita رحمهم الله , dan mereka menjelaskan bahwa orang yang mengeluarkan harta untuk mendapatkan haknya maka tidak ada dosa atasnya.” (Syarhul mumti’: 15/306).